Langsung ke konten utama

DEMONSTRASI, MENYELESAIKAN MASALAH?


DEMONSTRASI, MENYELESAIKAN MASALAH?
Akhir-akhir ini, tanah air kita tengah mengalami suatu peristiwa yang menjadi perhatian besar seluruh rakyat Indonesia. Hal itu berawal dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwacanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang menurut sebagian pihak menuai kontroversi. Pasal-pasal yang termuat didalamnya dianggap tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan kemanusiaan. Imbasnya, DPR mendapatkan kecaman dari banyak kalangan. Terutama dari para Mahasiswa, Aktivis, hingga pelajar SMK dan STM. Demonstrasi berkecamuk dimana-mana. Beberapa diantaranya diwarnai dengan kerusuhan dan kekerasan, bahkan menimbulkan korban luka-luka. Sebagian besar rakyat Indonesia masih memandang bahwa demonstrasi adalah solusi terbaik untuk memperbaiki kekeliruan yang ada  pada pemerintah. Namun, benarkah demikian?
Pertama, dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan kepada pembaca sekalian, bahwa sebagai seorang warga negara yang baik, tugas kita adalah senantiasa mentaati segala kebijakan yang dibuat oleh pemimpin dan para wakil rakyat kita. Hal ini sejalan dengan ajaran agama kita, Islam, yang mewajibkan seorang muslim untuk taat kepada pemimpin dalam segala hal, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Dalil mengenai kewajiban ini sangatlah banyak, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Berikut saya bawakan beberapa diantaranya:
1.             Firman Allah Ta'ala:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ  ۖ فَإِنْ تَنٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْأَاخِرِ  ۚ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' 4: 59)
Para ulama bersepakat bahwa makna 'Ulil Amri' dalam ayat ini salah satunya adalah merujuk kepada pemimpin kaum muslimin yang sah. Maka, berdasarkan ayat diatas, sudah terlihat secara gamblang kewajiban seorang muslim dalam mentaati pemimpinnya dalam hal yang ma'ruf.
2.             Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu'anhu, "Setiap Muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara-perkara yang ia sukai atau ia benci, kecuali jika ia diperintah dengan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah dengan suatu kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat." (Shahih: Bukhari 2955, Muslim 1839, Abu Dawud 2626, dan at-Tirmidzi 1707)
3.             Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu'anhu, "Dengar dan taatlah kalian, meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Ethiopia) yang rambutnya seperti buah kismis." (Shahih: Bukhari 693)
Hadits ini sebagai dalil kewajiban mendengar, taat dan patuh kepada perintah Ulil Amri baik ia setuju dengan maksud perintah itu ataupun tidak setuju, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah. (Syaikh Faisal Alu Mubarak dalam Syarah Riyadhush Shalihin, hlm. 471, cet. Ummul Quro)
4.             Dalil bahwa mentaati pemimpin hanya dalam hal yang ma'ruf adalah sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma'ruf (kebaikan)." (Shahih: Bukhari 7257 dan Muslim 1840)
5.             Bahwa tidak boleh taat kepada pemimpin dalam hal kemaksiatan kepada Allah berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam hal kemaksiatan kepada Allah." (Shahih: Ahmad 1098)
6.             Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita untuk tetap bersabar apabila mendapati kebijakan pemimpin yang membuat kita tidak suka. Sabda beliau shallallahu'alaihi wa sallam, "Barangsiapa tidak suka terhadap sesuatu dari (kebijakan) amirnya (penguasa), maka hendaknya ia bersabar." (Shahih: Bukhari 7053 dan Muslim 1849)
7.             Haram membangkang kepada pemimpin. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang keluar (membangkang) terhadap penguasa sejengkal saja, niscaya ia mati dengan kematian jahiliyah." (Shahih: Bukhari 7053 dan Muslim 1849)
8.             Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari sahabat Abdullah bin Mas'ud radhiallahu'anhu, "Sungguh, sepeninggalku, akan ada penguasa-penguasa negara yang mementingkan diri sendiri dan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak kalian sukai. Para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa yang Anda perintahkan kepada orang-orang diantara kami yang mengalami hal tersebut?' Beliau menjawab, "Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah." (Shahih: Bukhari 3603, Muslim 1843, dan at-Tirmidzi 2191)
Hadits ini sebagai dalil atas larangan menentang para pemimpin, sekalipun mereka menyimpang, serta sebagai dalil atas ketergantungan diri kepada balasan dari Allah.
9.             Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya." (Hasan: Ahmad 5/43, at-Tirmidzi 2225)
Berdasarkan beberapa dalil diatas, dapat kita simpulkan bahwa hukum mentaati pemimpin hukumnya adalah wajib, dan memberontak terhadap mereka hukumnya haram. Ini  merupakan ijma’ (kesepakatan para ulama). Namun, ketaatan terhadap mereka hanyalah dalam hal yang ma’ruf (baik). Adapun bila kebijakan mereka mengajak kepada kemaksiatan, maka tidak boleh kita taati.
Sebagian kaum muslimin di Indonesia, ada yang menganggap bahwa pemerintahan bangsa kita saat ini boleh diberontak, lewat cara demonstrasi salah satunya. Mereka kerap kali mempermasalahkan kebijakan-kebijakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada kita bahwa kita harus bersabar menghadapi kebijakan penguasa yang tidak kita sukai.
Diantara mereka ada yang berdalil bahwa demonstrasi termasuk perbuatan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat terhadap penguasa yang disyariatkan. Berdasarkan hadits, “Agama ini adalah nasihat,” ditanyakan (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagi siapa wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum Muslimin dan segenap kaum Muslimin.” (Shahih: Muslim 55). Dari hadits ini, mereka mengambil pemahaman bahwa salah satu cara menasihati pemimpin adalah dengan melakukan aksi demonstrasi.
Tetapi, pemahaman mereka ini justru berseberangan dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tata cara menasihati penguasa. Dalam demonstrasi kita akan melihat sekelompok orang yang berorasi didepan umum, membuka aib pemerintah bahkan hingga menjelek-jelekkannya. Cara ini benar-benar batil. Dan melanggar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya.” (Hasan: Ahmad 5/43, at-Tirmidzi 2225)
Nabi kita telah menjelaskan secara terperinci bagaimana yang harus kita lakukan, apabila ingin beramar ma’ruf dan bernahi mungkar terhadap penguasa. Beliau bersabda, “Barangsiapa ingin menasihati penguasa maka hendaklah tidak menampakkannya secara terang-terangan, tetapi ia memegang tangannya lalu menyepi dengannya. Apabila penguasa itu menerimanya, itulah (yang diharapkan). Jika tidak, setidaknya dia telah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya.” (Shahih: Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim, dishahihkan oleh asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096-1098)
Subhanallah, begitu indahnya aturan yang disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menasihati pemimpin haruslah secara rahasia, tidak terang-terangan seperti dalam demonstrasi. Menjaga aibnya termasuk perkara yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Sebagaimana Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Seorang muslim seyogianya senantiasa mendo’akan kebaikan kepada penguasa dan mengamalkan adab-adab terhadap mereka sesuai tuntunan Allah.
Apabila kita mencermati beberapa dalil yang saya bawakan diatas, tentunya kita bisa memahami bahwa memberontak kepada pemerintah termasuk perkara yang tidak diperbolehkan dalam agama kita. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah demonstrasi termasuk kedalam bentuk pemberontakan? Berkata seorang ulama besar dari tanah Arab, anggota Lajnah Daimah (semacam MUI di Indonesia) Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan Hafizhahullah, “Islam adalah agama yang mengajarkan ketenangan, ketentraman, dan stabilitas, maka tidak ada demonstrasi dalam Islam.” (Mauqiful Muslim minal Fitan wal Muzhaharat, hal. 18)
Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa demonstrasi bukanlah cara yang tepat dalam menasihati penguasa dan berseberangan dengan apa yang Nabi kita ajarkan. Islam senantiasa menganjurkan untuk menjaga ketenangan, ketentraman, dan stabilitas di suatu negara, meskipun kebijakan penguasa dinilai merugikan rakyatnya. Tugas kita hanyalah bersabar, selama tidak disuruh kepada kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa tidak suka terhadap sesuatu dari (kebijakan) amirnya (penguasa), maka hendaknya ia bersabar." (Shahih: Bukhari 7053 dan Muslim 1849). Tentunya, dampak dari demonstrasi tidaklah menghasilkan suatu hal apapun, melainkan kerusakan, kericuhan, bahkan pertumpahan darah. Sebagai contoh, dapat kita saksikan secara nyata di beberapa negara kaum muslimin. Dimana umat Islam tidak bersabar menghadapi penguasa, sehingga menimbulkan mudharat yang lebih besar. Tidak ada hasil yang baik, apabila kita melaksanakan suatu perbuatan yang menyelisihi aturan sang pencipta.
Tatkala Ahlus Sunnah melarang melakukan demonstrasi terhadap penguasa yang zhalim atau yang kebijakannya yang merugikan rakyat, hal itu bukan berarti kami mendukung kezhalimannya. Tetapi, Ahlus Sunnah hanya berpegang kepada perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jangankan terhadap pemimpin yang zhalim, Allah Ta’ala bahkan memerintahkan kepada Nabi Musa ‘alaihi salam dan Nabi Harun ‘alaihi salam untuk menasihati Fir’aun, raja paling kejam yang mengaku sebagai tuhan, dengan perkataan yang lemah lembut. Sebagaimana dijelaskan dalam firmannya:
اذْهَبَآ إِلٰى فِرْعَوْنَ إِنَّهُۥ طَغٰى  فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشٰى
 “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaha 20: 43-44)
Lihatlah, kepada pemimpin yang paling zhalim saja Allah Ta’ala tetap memerintahkan untuk berbicara dengan lemah lembut! Apalagi kepada pemerintah kita yang muslim, masih menunaikan shalat, mengizinkan kaum muslimin melakukan ketaatan, dan tidak memerintah dalam kemaksiatan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tidak boleh keluar dari ulim ‘amri, kecuali dengan beberapa syarat:
1.      Kekufuran yang jelas
2.      Tidak ada kesamaran tentang kekufurannya dan bukan kefasikan
3.      Jelas-jelas dia melakukannya dengan terang-terangan, bukan takwil
4.      Ada bukti dan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ tentang kekufurannya
5.      Ada kemampuan
Apabila yang terjadi dikalangan ulil ‘amri hanyalah kebijakan yang tidak sesuai keinginan rakyat, maka tidak bisa dikategorikan salah satu persyaratan diatas. Alhamdulillah, pemerintah kita adalah pemerintah muslim. Syariat Islam tegak di bumi Nusantara. Adzan lima waktu dikumandangkan, shalat berjamaah di mesjid, puasa di bulan ramadhan, dan banyak lagi syiar Islam yang tampak di negeri ini. Meskipun memang belum sempurna, karena mungkin mereka tidak tahu atau ada penghalang lain. Maka tugas kita hanyalah menyampaikan dan senantiasa menuntut ilmu untuk menjadikan negara kita tercinta lebih baik lagi. Kita mendoakan kebaikan bagi pemimpin, bukan dengan menghujat apalagi menghinanya di hadapan umum.
Mungkin diantara pembaca ada yang bergumam, “Kita kan tinggal di negara demokrasi, jadi sah-sah saja dong kalau ada demonstrasi.” Saya jawab, memang bangsa ini didirikan dengan menganut paham demokrasi yang mana sudah lumrah dipakai oleh sebagian besar negara di dunia saat ini. Tetapi, kalau kita membahas demokrasi, tentu saja kita mengetahui bersama hakikat demokrasi dan literatur sejarahnya. Dan pandangan para ulama tentangnya juga sudah sangat jelas. Tetapi saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.
Baiklah pembaca yang budiman, kita lanjutkan. Kita sudah sering sekali mendengar dan melihat bahwa demonstrasi selalu terjadi dari masa ke masa di negara ini. Di setiap pemerintahan, mulai dari era Bung Karno, Jenderal Soeharto, Prof. BJ. Habibie, Gus Dur, Ibu Megawati, Bapak SBY, hingga era Bapak Jokowi kita saksikan bersama bahwa mereka semua tidak lepas dari demonstran yang memprotes kebijakan pemerintahannya. Dan hasil dari demonstrasi tersebut sama sekali tidak menyelesaikan masalah, justru malah memperkeruh suasana, membuat ketertiban umum terganggu, kerusuhan, jalanan macet, bahkan hingga pertumpahan darah. Solusi yang diharapkan tidak tercapai. Bahkan jika kita memperhatikan beberapa sosok di DPR yang hari ini di demo adalah alumni demonstran reformis tahun 98. Begitulah saudara-saudara siklus dari perbuatan ini. Masalah akan terus bertambah dan tidak akan pernah usai apabila cara semacam ini yang dipakai. Selesaikan semuanya lewat kepala dingin, terlebih dengan tuntunan agama Islam yang sempurna.
Sekarang kita lihat pasal yang menjadi kontroversi tersebut. Saya sudah membaca beberapa pasal yang dipermasalahkan tersebut. Dan sependek pengetahuan saya, tidak ada pasal yang menyuruh kepada kemaksiatan ataupun menjauhkan kita dari ketaatan. Awalnya, saya memang terkejut dengan beberapa ‘meme’ di media sosial yang tersebar tentang pasal tersebut. Tetapi, saya tidak langsung percaya begitu saja. Saya pun melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai kebenarannya, dan saya dapati ternyata ada sedikit perbedaan dengan yang dikutip pada ‘meme’ yang viral di media sosial. Saya menilai ada unsur provokatif dalam penyebaran informasi ini oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga membuat masyarakat menjadi gaduh. Padahal, tatkala kita menerima informasi dari siapapun, maka tugas kita adalah mencari kebenarannya terlebih dahulu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًۢا بِجَهٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat 49: 6)
Misalnya, ada sebuah pasal tentang RUU KUHP yang meluaskan makna zina. Pasal 417 ayat 1 berbunyi: “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.”
            Pasal ini dinilai mengundang kontroversi. Pertanyaan saya, dimana letak kesalahan pasal ini? Bukankah bagus rasanya jika pelaku perzinaan mendapatkan hukuman seperti diatas, untuk memberikan efek jera? Kenapa pasal semacam itu di perdebatkan?
            Kemudian, mengenai pasal 470 dan 471 tentang aborsi, mereka menganggap bahwa pasal ini mendiskriminasi kaum perempuan dan korban pemerkosaan. Saudaraku, Islam telah jelas melarang perbuatan aborsi, meskipun anak tersebut lahir dari hasil pemerkosaan. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama ketika menanggapi kasus yang ada di Bosnia Herzegovina, dimana banyak perempuan muslimah yang dianiaya oleh kaum kufar penindas sehingga membuat mereka hamil. Para ulama pun tetap melarang kaum muslimah tersebut untuk melakukan aborsi.
Pasal 218 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Pernyataan diatas ternyata diplintir oleh suatu media dengan kalimat, “Pengkritk presiden dipenjara 6 bulan.” Maknanya berubah bukan? Sangat bernada provokatif. Padahal jika kita cermati bunyi pasal diatas dengan tetap memperhatikan konteksnya, sebetulnya tidak ada masalah. Menyerang kehormatan presiden dan harkat martabatnya tidaklah benar. Sejalan dengan hadits, "Barangsiapa yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya.” (Hasan: Ahmad 5/43, at-Tirmidzi 2225)
Saya hanya mengomentari beberapa pasal diantaranya. Dan tentu saja ada beberapa pasal yang saya sendiri pun tidak setuju. Kalaupun memang ada pasal lain yang memang menurut kita keliru, maka tidak usah kita menghujat pemerintah secara terang-terangan. Kita nasihati secara baik-baik bila mampu. Jika tidak, cukup kita do’akan supaya pemerintah kita mendapatkan hidayah dan diberi petunjuk oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk kebaikan bangsa ini.
            Maka, ini semua menjadi pelajaran berharga bagi saya dan juga untuk kita semua. Bahwa apabila kita mendapatkan suatu informasi, maka jangan langsung mempercayainya apalagi langsung share. Baiknya kita tabayyun (mengecek kebenarannya) dulu baru. Jangan pula mudah terprovokasi oleh banyaknya isu yang tersebar.
Alangkah indah perkataan Ustadz Sofyan Chalid Idham Ruray hafizhahullah, “Saudaraku Mahasiswa, tinggalkanlah jalanan, datangi majelis ilmu. Agar engkau tahu jalan yang benar untuk membangun negerimu, karena usahamu memperbaiki bangsa dalam kondisi dirimu tidak memahami agama, bisa jadi engkau sedang merusak dari arah yang engkau sangka sedang melakukan perbaikan.”
Demikianlah realita generasi umat Islam saat ini. Dimana, para pemuda justru lebih bersemangat dalam melakukan demonstrasi ketimbang mendatangi majelis ilmu yang jelas manfaatnya dunia dan akhirat. Bahkan mungkin saja diantara mereka ada yang tidak paham masalah apa yang sedang mereka hadapi ini. Mungkin hanya sekedar ikut-ikutan, dan terbawa arus provokatif. Kembali wahai saudara! Mulailah dengan memperbaiki diri kita sebelum mendemo penguasa. Karena pemimpin adalah cerminan rakyatnya sendiri. Jika rakyatnya baik, niscaya Allah berikan pemimpin yang baik, dan jika rakyatnya zhalim, maka Allah akan mengangkat pemimpin yang zhalim pula. Jadi, sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah yang memberi taufik.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mendiskreditkan siapapun. Saya hanya menjelaskan apa yang saya tahu, dengan argumentasi sebagaimana disampaikan diatas, karena saya agak terenyuh dengan banyaknya teman-teman yang terpengaruh oleh isu ini. Perlu pembaca ketahui, bahwa saya tidak berada di kubu manapun, tidak oposisi, tidak juga sebagai penjilat penguasa. Saya menyampaikan sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nasihat bagi diri saya pribadi dan umumnya bagi kaum muslimin semuanya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dan semoga Allah Ta’ala menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala mara bahaya dan tipu daya.
Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahi rabbil ‘alamin.
Bandung, 27 September 2019 selepas waku Isya’. Tulisan seorang siswa SMK, dengan segala keterbatasan ilmu yang dimiliki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengatasi Video Story WhatsApp Tidak Sinkron

  Mengatasi Video Story WhatsApp Tidak Sinkron Sebagaimana kita ketahui, bahwa maksimal durasi video yang dapat diposting pada Story WhatsApp terbatas hanya 30 detik. Jika videonya lebih dari 30 detik, maka biasanya kita akan membaginya menjadi beberapa bagian. Kita tinggal menggeser bagian dari masing-masing video tersebut menjadi per 30 detik. Dulu tidak ada masalah ketika kita terapkan cara seperti ini. Video akan tetap tampil dengan baik tanpa ada kendala. Namun, belakangan ini kerap kali ditemui kasus, yakni ketika posting Story Video, di part yang ke-2 dan seterusnya, video yang kita kirim justru menjadi tidak sinkron antara gambar dan suara. Contohnya, ketika saya posting kajian video berdurasi 1 menit. Pada bagian pertama, tidak ada masalah. Adapun ketika di bagian yang kedua, maka antara suara dan gambar menjadi tidak sesuai. Sehingga terkesan menjadi kurang nyaman untuk dilihat.  Pernahkah mengalaminya, teman-teman? Tentu gak enak ya. Seperti kata pepata...