DEMONSTRASI, MENYELESAIKAN
MASALAH?
Akhir-akhir ini, tanah air kita tengah
mengalami suatu peristiwa yang menjadi perhatian besar seluruh rakyat
Indonesia. Hal itu berawal dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwacanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI) yang menurut sebagian pihak menuai kontroversi. Pasal-pasal
yang termuat didalamnya dianggap tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan
kemanusiaan. Imbasnya, DPR mendapatkan kecaman dari banyak kalangan. Terutama
dari para Mahasiswa, Aktivis, hingga pelajar SMK dan STM. Demonstrasi
berkecamuk dimana-mana. Beberapa diantaranya diwarnai dengan kerusuhan dan
kekerasan, bahkan menimbulkan korban luka-luka. Sebagian besar rakyat Indonesia
masih memandang bahwa demonstrasi adalah solusi terbaik untuk memperbaiki
kekeliruan yang ada pada pemerintah.
Namun, benarkah demikian?
Pertama, dalam tulisan ini saya ingin
menjelaskan kepada pembaca sekalian, bahwa sebagai seorang warga negara yang
baik, tugas kita adalah senantiasa mentaati segala kebijakan yang dibuat oleh
pemimpin dan para wakil rakyat kita. Hal ini sejalan dengan ajaran agama kita,
Islam, yang mewajibkan seorang muslim untuk taat kepada pemimpin dalam segala
hal, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Dalil mengenai kewajiban ini
sangatlah banyak, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Berikut saya bawakan
beberapa diantaranya:
1.
Firman Allah
Ta'ala:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْأَاخِرِ ۚ ذٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' 4: 59)
Para ulama bersepakat bahwa makna 'Ulil
Amri' dalam ayat ini salah satunya adalah merujuk kepada pemimpin kaum muslimin
yang sah. Maka, berdasarkan ayat diatas, sudah terlihat secara gamblang
kewajiban seorang muslim dalam mentaati pemimpinnya dalam hal yang ma'ruf.
2.
Sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu'anhu, "Setiap Muslim wajib mendengar dan taat
dalam perkara-perkara yang ia sukai atau ia benci, kecuali jika ia diperintah
dengan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah dengan suatu kemaksiatan, maka
tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat." (Shahih:
Bukhari 2955, Muslim 1839, Abu Dawud 2626, dan at-Tirmidzi 1707)
3.
Sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu'anhu, "Dengar dan taatlah kalian, meskipun
yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Ethiopia) yang rambutnya
seperti buah kismis." (Shahih: Bukhari 693)
Hadits ini sebagai dalil kewajiban mendengar,
taat dan patuh kepada perintah Ulil Amri baik ia setuju dengan maksud perintah
itu ataupun tidak setuju, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah. (Syaikh
Faisal Alu Mubarak dalam Syarah Riyadhush Shalihin, hlm. 471, cet. Ummul Quro)
4.
Dalil bahwa
mentaati pemimpin hanya dalam hal yang ma'ruf adalah sabda Nabi
shallallahu'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya
ketaatan itu hanya dalam hal yang ma'ruf (kebaikan)." (Shahih: Bukhari
7257 dan Muslim 1840)
5.
Bahwa tidak
boleh taat kepada pemimpin dalam hal kemaksiatan kepada Allah berdasarkan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak
ada ketaatan kepada makhluk di dalam hal kemaksiatan kepada Allah."
(Shahih: Ahmad 1098)
6.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita untuk tetap bersabar
apabila mendapati kebijakan pemimpin yang membuat kita tidak suka. Sabda beliau
shallallahu'alaihi wa sallam, "Barangsiapa
tidak suka terhadap sesuatu dari (kebijakan) amirnya (penguasa), maka hendaknya
ia bersabar." (Shahih: Bukhari 7053 dan Muslim 1849)
7.
Haram
membangkang kepada pemimpin. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang keluar (membangkang)
terhadap penguasa sejengkal saja, niscaya ia mati dengan kematian
jahiliyah." (Shahih: Bukhari 7053 dan Muslim 1849)
8.
Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari sahabat Abdullah bin Mas'ud
radhiallahu'anhu, "Sungguh,
sepeninggalku, akan ada penguasa-penguasa negara yang mementingkan diri sendiri
dan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak kalian sukai. Para sahabat
bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa yang Anda perintahkan kepada orang-orang
diantara kami yang mengalami hal tersebut?' Beliau menjawab, "Tunaikanlah
kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah." (Shahih:
Bukhari 3603, Muslim 1843, dan at-Tirmidzi 2191)
Hadits ini sebagai
dalil atas larangan menentang para pemimpin, sekalipun mereka menyimpang, serta
sebagai dalil atas ketergantungan diri kepada balasan dari Allah.
9.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa
yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya." (Hasan: Ahmad
5/43, at-Tirmidzi 2225)
Berdasarkan beberapa dalil diatas, dapat
kita simpulkan bahwa hukum mentaati pemimpin hukumnya adalah wajib, dan
memberontak terhadap mereka hukumnya haram. Ini
merupakan ijma’ (kesepakatan para ulama). Namun, ketaatan terhadap
mereka hanyalah dalam hal yang ma’ruf (baik). Adapun bila kebijakan mereka
mengajak kepada kemaksiatan, maka tidak boleh kita taati.
Sebagian kaum muslimin di Indonesia, ada
yang menganggap bahwa pemerintahan bangsa kita saat ini boleh diberontak, lewat
cara demonstrasi salah satunya. Mereka kerap kali mempermasalahkan
kebijakan-kebijakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat. Padahal, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada kita bahwa kita harus
bersabar menghadapi kebijakan penguasa yang tidak kita sukai.
Diantara mereka ada yang berdalil bahwa
demonstrasi termasuk perbuatan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat terhadap
penguasa yang disyariatkan. Berdasarkan hadits, “Agama ini adalah nasihat,” ditanyakan (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Bagi siapa wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi
KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum Muslimin dan segenap kaum Muslimin.” (Shahih:
Muslim 55). Dari hadits ini, mereka mengambil pemahaman bahwa salah satu cara
menasihati pemimpin adalah dengan melakukan aksi demonstrasi.
Tetapi, pemahaman mereka ini justru
berseberangan dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tata cara
menasihati penguasa. Dalam demonstrasi kita akan melihat sekelompok orang yang
berorasi didepan umum, membuka aib pemerintah bahkan hingga
menjelek-jelekkannya. Cara ini benar-benar batil. Dan melanggar hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barangsiapa
yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya.” (Hasan: Ahmad 5/43,
at-Tirmidzi 2225)
Nabi kita telah menjelaskan secara
terperinci bagaimana yang harus kita lakukan, apabila ingin beramar ma’ruf dan
bernahi mungkar terhadap penguasa. Beliau bersabda, “Barangsiapa ingin menasihati penguasa maka hendaklah tidak
menampakkannya secara terang-terangan, tetapi ia memegang tangannya lalu
menyepi dengannya. Apabila penguasa itu menerimanya, itulah (yang diharapkan).
Jika tidak, setidaknya dia telah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya.”
(Shahih: Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim, dishahihkan oleh asy-Syaikh Al-Albani dalam
Zhilalul Jannah, no. 1096-1098)
Subhanallah, begitu indahnya aturan yang
disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menasihati pemimpin
haruslah secara rahasia, tidak terang-terangan seperti dalam demonstrasi.
Menjaga aibnya termasuk perkara yang harus dilakukan oleh setiap muslim.
Sebagaimana Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Seorang
muslim seyogianya senantiasa mendo’akan kebaikan kepada penguasa dan
mengamalkan adab-adab terhadap mereka sesuai tuntunan Allah.
Apabila kita mencermati beberapa dalil
yang saya bawakan diatas, tentunya kita bisa memahami bahwa memberontak kepada
pemerintah termasuk perkara yang tidak diperbolehkan dalam agama kita. Tetapi
yang menjadi pertanyaan adalah, apakah demonstrasi termasuk kedalam bentuk
pemberontakan? Berkata seorang ulama besar dari tanah Arab, anggota Lajnah
Daimah (semacam MUI di Indonesia) Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan Hafizhahullah,
“Islam adalah agama yang mengajarkan ketenangan, ketentraman, dan stabilitas, maka tidak ada demonstrasi dalam Islam.”
(Mauqiful Muslim minal Fitan wal Muzhaharat, hal. 18)
Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa
demonstrasi bukanlah cara yang tepat dalam menasihati penguasa dan
berseberangan dengan apa yang Nabi kita ajarkan. Islam senantiasa menganjurkan
untuk menjaga ketenangan, ketentraman, dan stabilitas di suatu negara, meskipun
kebijakan penguasa dinilai merugikan rakyatnya. Tugas kita hanyalah bersabar,
selama tidak disuruh kepada kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, "Barangsiapa tidak
suka terhadap sesuatu dari (kebijakan) amirnya (penguasa), maka hendaknya ia
bersabar." (Shahih: Bukhari 7053 dan Muslim 1849). Tentunya, dampak
dari demonstrasi tidaklah menghasilkan suatu hal apapun, melainkan kerusakan,
kericuhan, bahkan pertumpahan darah. Sebagai contoh, dapat kita saksikan secara
nyata di beberapa negara kaum muslimin. Dimana umat Islam tidak bersabar
menghadapi penguasa, sehingga menimbulkan mudharat yang lebih besar. Tidak ada
hasil yang baik, apabila kita melaksanakan suatu perbuatan yang menyelisihi
aturan sang pencipta.
Tatkala Ahlus Sunnah melarang melakukan
demonstrasi terhadap penguasa yang zhalim atau yang kebijakannya yang merugikan
rakyat, hal itu bukan berarti kami mendukung kezhalimannya. Tetapi, Ahlus
Sunnah hanya berpegang kepada perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jangankan terhadap pemimpin yang zhalim, Allah Ta’ala bahkan memerintahkan
kepada Nabi Musa ‘alaihi salam dan Nabi Harun ‘alaihi salam untuk menasihati
Fir’aun, raja paling kejam yang mengaku sebagai tuhan, dengan perkataan yang
lemah lembut. Sebagaimana dijelaskan dalam firmannya:
اذْهَبَآ إِلٰى فِرْعَوْنَ إِنَّهُۥ
طَغٰى فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا
لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشٰى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaha 20: 43-44)
Lihatlah, kepada pemimpin yang paling
zhalim saja Allah Ta’ala tetap memerintahkan untuk berbicara dengan lemah
lembut! Apalagi kepada pemerintah kita yang muslim, masih menunaikan shalat,
mengizinkan kaum muslimin melakukan ketaatan, dan tidak memerintah dalam
kemaksiatan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tidak boleh keluar dari ulim ‘amri,
kecuali dengan beberapa syarat:
1.
Kekufuran yang jelas
2.
Tidak ada kesamaran tentang
kekufurannya dan bukan kefasikan
3.
Jelas-jelas dia melakukannya dengan
terang-terangan, bukan takwil
4.
Ada bukti dan dalil yang jelas dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ tentang kekufurannya
5.
Ada kemampuan
Apabila yang terjadi dikalangan ulil ‘amri
hanyalah kebijakan yang tidak sesuai keinginan rakyat, maka tidak bisa
dikategorikan salah satu persyaratan diatas. Alhamdulillah, pemerintah kita
adalah pemerintah muslim. Syariat Islam tegak di bumi Nusantara. Adzan lima
waktu dikumandangkan, shalat berjamaah di mesjid, puasa di bulan ramadhan, dan
banyak lagi syiar Islam yang tampak di negeri ini. Meskipun memang belum
sempurna, karena mungkin mereka tidak tahu atau ada penghalang lain. Maka tugas
kita hanyalah menyampaikan dan senantiasa menuntut ilmu untuk menjadikan negara
kita tercinta lebih baik lagi. Kita mendoakan kebaikan bagi pemimpin, bukan dengan
menghujat apalagi menghinanya di hadapan umum.
Mungkin diantara pembaca ada yang bergumam,
“Kita kan tinggal di negara demokrasi, jadi sah-sah saja dong kalau ada
demonstrasi.” Saya jawab, memang bangsa ini didirikan dengan menganut paham
demokrasi yang mana sudah lumrah dipakai oleh sebagian besar negara di dunia
saat ini. Tetapi, kalau kita membahas demokrasi, tentu saja kita mengetahui
bersama hakikat demokrasi dan literatur sejarahnya. Dan pandangan para ulama
tentangnya juga sudah sangat jelas. Tetapi saya tidak akan membahasnya dalam
tulisan ini.
Baiklah pembaca yang budiman, kita
lanjutkan. Kita sudah sering sekali mendengar dan melihat bahwa demonstrasi
selalu terjadi dari masa ke masa di negara ini. Di setiap pemerintahan, mulai
dari era Bung Karno, Jenderal Soeharto, Prof. BJ. Habibie, Gus Dur, Ibu
Megawati, Bapak SBY, hingga era Bapak Jokowi kita saksikan bersama bahwa mereka
semua tidak lepas dari demonstran yang memprotes kebijakan pemerintahannya. Dan
hasil dari demonstrasi tersebut sama sekali tidak menyelesaikan masalah, justru
malah memperkeruh suasana, membuat ketertiban umum terganggu, kerusuhan,
jalanan macet, bahkan hingga pertumpahan darah. Solusi yang diharapkan tidak
tercapai. Bahkan jika kita memperhatikan beberapa sosok di DPR yang hari ini di
demo adalah alumni demonstran reformis tahun 98. Begitulah saudara-saudara
siklus dari perbuatan ini. Masalah akan terus bertambah dan tidak akan pernah
usai apabila cara semacam ini yang dipakai. Selesaikan semuanya lewat kepala
dingin, terlebih dengan tuntunan agama Islam yang sempurna.
Sekarang kita lihat pasal yang menjadi
kontroversi tersebut. Saya sudah membaca beberapa pasal yang dipermasalahkan
tersebut. Dan sependek pengetahuan saya, tidak ada pasal yang menyuruh kepada
kemaksiatan ataupun menjauhkan kita dari ketaatan. Awalnya, saya memang
terkejut dengan beberapa ‘meme’ di media sosial yang tersebar tentang pasal
tersebut. Tetapi, saya tidak langsung percaya begitu saja. Saya pun melakukan
penelusuran lebih lanjut mengenai kebenarannya, dan saya dapati ternyata ada
sedikit perbedaan dengan yang dikutip pada ‘meme’ yang viral di media sosial.
Saya menilai ada unsur provokatif dalam penyebaran informasi ini oleh sebagian
pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga membuat masyarakat menjadi gaduh.
Padahal, tatkala kita menerima informasi dari siapapun, maka tugas kita adalah
mencari kebenarannya terlebih dahulu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًۢا بِجَهٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat
49: 6)
Misalnya, ada sebuah pasal tentang RUU
KUHP yang meluaskan makna zina. Pasal 417 ayat 1 berbunyi: “Setiap Orang yang
melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana
karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
Kategori II.”
Pasal
ini dinilai mengundang kontroversi. Pertanyaan saya, dimana letak kesalahan
pasal ini? Bukankah bagus rasanya jika pelaku perzinaan mendapatkan hukuman
seperti diatas, untuk memberikan efek jera? Kenapa pasal semacam itu di perdebatkan?
Kemudian,
mengenai pasal 470 dan 471 tentang aborsi, mereka menganggap bahwa pasal ini
mendiskriminasi kaum perempuan dan korban pemerkosaan. Saudaraku, Islam telah
jelas melarang perbuatan aborsi, meskipun anak tersebut lahir dari hasil
pemerkosaan. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama ketika menanggapi kasus
yang ada di Bosnia Herzegovina, dimana banyak perempuan muslimah yang dianiaya
oleh kaum kufar penindas sehingga membuat mereka hamil. Para ulama pun tetap
melarang kaum muslimah tersebut untuk melakukan aborsi.
Pasal 218 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap
orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden
atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Pernyataan diatas ternyata
diplintir oleh suatu media dengan kalimat, “Pengkritk presiden dipenjara 6
bulan.” Maknanya berubah bukan? Sangat bernada provokatif. Padahal jika kita
cermati bunyi pasal diatas dengan tetap memperhatikan konteksnya, sebetulnya
tidak ada masalah. Menyerang kehormatan presiden dan harkat martabatnya
tidaklah benar. Sejalan dengan hadits, "Barangsiapa
yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya.” (Hasan: Ahmad 5/43,
at-Tirmidzi 2225)
Saya hanya mengomentari beberapa pasal
diantaranya. Dan tentu saja ada beberapa pasal yang saya sendiri pun tidak
setuju. Kalaupun memang ada pasal lain yang memang menurut kita keliru, maka
tidak usah kita menghujat pemerintah secara terang-terangan. Kita nasihati
secara baik-baik bila mampu. Jika tidak, cukup kita do’akan supaya pemerintah
kita mendapatkan hidayah dan diberi petunjuk oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk
kebaikan bangsa ini.
Maka,
ini semua menjadi pelajaran berharga bagi saya dan juga untuk kita semua. Bahwa
apabila kita mendapatkan suatu informasi, maka jangan langsung mempercayainya
apalagi langsung share. Baiknya kita tabayyun
(mengecek kebenarannya) dulu baru. Jangan pula mudah terprovokasi oleh
banyaknya isu yang tersebar.
Alangkah indah perkataan Ustadz Sofyan
Chalid Idham Ruray hafizhahullah, “Saudaraku
Mahasiswa, tinggalkanlah jalanan, datangi majelis ilmu. Agar engkau tahu jalan
yang benar untuk membangun negerimu, karena usahamu memperbaiki bangsa dalam
kondisi dirimu tidak memahami agama, bisa jadi engkau sedang merusak dari arah
yang engkau sangka sedang melakukan perbaikan.”
Demikianlah realita generasi umat Islam
saat ini. Dimana, para pemuda justru lebih bersemangat dalam melakukan
demonstrasi ketimbang mendatangi majelis ilmu yang jelas manfaatnya dunia dan
akhirat. Bahkan mungkin saja diantara mereka ada yang tidak paham masalah apa
yang sedang mereka hadapi ini. Mungkin hanya sekedar ikut-ikutan, dan terbawa
arus provokatif. Kembali wahai saudara! Mulailah dengan memperbaiki diri kita
sebelum mendemo penguasa. Karena pemimpin adalah cerminan rakyatnya sendiri. Jika
rakyatnya baik, niscaya Allah berikan pemimpin yang baik, dan jika rakyatnya
zhalim, maka Allah akan mengangkat pemimpin yang zhalim pula. Jadi, sibukkan
diri kita dengan menuntut ilmu dan melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Hanya Allah yang memberi taufik.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk
mendiskreditkan siapapun. Saya hanya menjelaskan apa yang saya tahu, dengan
argumentasi sebagaimana disampaikan diatas, karena saya agak terenyuh dengan
banyaknya teman-teman yang terpengaruh oleh isu ini. Perlu pembaca ketahui,
bahwa saya tidak berada di kubu manapun, tidak oposisi, tidak juga sebagai
penjilat penguasa. Saya menyampaikan sesuai dengan apa yang termaktub dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nasihat
bagi diri saya pribadi dan umumnya bagi kaum muslimin semuanya. Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi kita dan semoga Allah Ta’ala menjaga Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari segala mara bahaya dan tipu daya.
Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahi
rabbil ‘alamin.
Bandung, 27 September 2019 selepas waku
Isya’. Tulisan seorang siswa SMK, dengan segala keterbatasan ilmu yang dimiliki.
Komentar
Posting Komentar